Semangat
45 terus berkobar meski putih dari sang MERAH-PUTIH telah memudar. Saya akan memulai tulisan ini sebagai
kesepakatan hati yang terdalam untuk menyenggol sedikit hati nurani mahasiswa seantero Nusantara. Terlihat seperti mengundang ‘perkara’ memang. Tapi
akan ku coba menelissik dari sisi saya sebagai ‘pecundang’ yang mengharap
sedetik’ lirikan untuk ‘yang terhormat’
yang ‘mengkerutkan keningnya’ ketika memegang mouse sambil mengawasi LCD pada posisi yang benar. Ini cerita ku,
saya, bukan seorang genius dan bukan seorang idiot yang perlu dikasihani dengan
uluran tangan dengan hati sang ‘munafik’. Baiklah, ini sebuah asumsi yang memuakkan sebagai pembuka,
tapi saya hanya mencoba ‘blak-blak-an’
agar terkesan ‘apa-adanya’ dan sedikit ‘ada-apanya’. Teman-teman yang saya
muliakan, saya memohon izin untuk berbicara atas nama ‘keinginan yang luar
biasa’.
Saya
hanyalah mahasiswa semester tengah yang malang-melintang mencari arah yang ‘tak
pasti’ untuk menemukan sebuah ‘kejelasan’ dari arti yang ‘hampa’. Ayah saya sudah tiada sejak saya dinyatakan ‘lulus’ SMA.
Ia menghantarkan saya dengan setengah dari ‘akhir kesuksesan’ saya untuk
melanjutkan kejenjang berikutnya. Ibu saya hanya ‘single parent’ yang berusaha
‘kuat’ menghadapi dunia yang tergolong
‘kejam’. Ingin rasanya saya
berteriak. Namun 70% tempat lapang dikota besar menjadi ‘markas pemuda kreatif’ membuat saya ‘balik kanan’ bergegas pulang keperistirahatan. Kos-kosan saya
terbilang ‘cukup’ untuk menampung ‘badan’ saya yang kian ‘membludak’ dan harga
nya pun menjadi ‘masalah’ tersendiri akhir-akhir ini. Belum lagi ‘hasrat’ yng tak terbenduung dari
‘gadis’ seusisa saya ketika memasuki pintu ‘mall’ . Lagi-lagi saya teringat
akan ‘pengaduan’ ibu saya membuat saya
menelan ludah. Tak urung menjadi ‘sosok’ yang ‘enggan diremehkan’, saya berusaha tetap ceria didepan teman-teman saya jikalau kantong saya ‘masih dalam
keadaan yang sama’. Namun itu hanya berlaku untuk beberapa detik saja. Saya
ingin tertawa setiap saya ingat cerita-cerita dimana saya ikut gabung untuk
hang-out di ‘mall’, dengan antusias nya saya berjalan mengitari lorong-lorong
toko nersama teman-teman saya. Niat hanya untuk me-refresh mata eh malah ada yang
mampir membeli ‘notebook’ dengan merek ternama. Haduh. Cobaan apalagi ini, jangankan beli baru, tak sanggup rasanya
menggeser posisi Godzila, sebutan
laptop saya yang setiap kali dibawa kampus mengharuskan saya menggendong ransel
seperti ‘anak TK’. Ada lagi ketika teman-teman terdekat saya mengundang untuk
sekedar ‘kumpul’. Makan di resto mungkin hal lumrah. Dan saya katakan, lebih
baik saya minum ‘es teh manis’ saja jika itu menekan saya untuk ‘puasa makan’
esok hari. Beruntung saya punya teman-teman dekat yang ‘sederhana’ meski saya tahu betul ‘jatah’ mereka adalah lipatan
tiga dari bulanan saya. Profesi orang tua mereka terbilang ‘cukup’ dikalangan
kota. Tapi mereka ‘tetap’ menjadi ‘cantik’ dengan ‘kasaih-sayang-tulus’ mereka
tanpa embel-embel sebagai buntutnya.
Oh iya, ada lagi ragam teman saya lainnya. Sikapnya terbilang ‘unik’ untuk saya
ceritakan. Tak seperti biasanya, ia ‘enggan’ mengajak saya menikmati ‘angin
dunia’ atau hanya sekedar bertatap muka. Yang saya dengar dari teman saya yang
lain alasannya tak lain tak bukan karena ‘berkurangnya’ faktor X sebagai financial yang menyantol dikehidupan
saya. Semua sudah jelas bahwa ‘kantong’ itu bukan milik pribadi, melainkan dari
hasil kerja keras orang tua yang rela berjuang demi secercah senyuman seorang
anak. Jangan bangga terlalu berlebihan. Bukan saya benci dengan hal ini. Namun
lebih kepada iri hati karena saya tak mampu ‘menyamai’ kepunyaan ‘dompet’
tersebut. Baiklah. Terima kasih sudah mengingatkan saya akan hal terpenting
itu. Itu akan membuat saya mundur perlahan untuk tidak berbuat macam-macam. Dan
saya hanya lebih tertarik dengan kehidupan selanjutnya.
Nafas
saya terasa berkurang beberapa mili. Mengingat kesasakan yang bertubi-tubi,
akhir-akhir ini memaksa saya mengelus dada dan mengendapkan telinga saya.
Bertemakan study-tour, membuat angan saya membumbung tinggi untuk memasuki
khayalan tingkat tinggi. Luar negeri, kata itu seolah sangat ‘wah’. Kata siapa saya tidak mau
menjadi bagian dari touring yang saya sendiri sangat mengidamkan itu. Jutaan
rupiah bukan perkara mudah. Terutama bagi saya pribadi. Dan saya sangat tahu
diri akan hal ini. Hei yo! Sampai
sudah pada inti dari celoteh saya kali ini. Jujur, saya ingin menyabotasi
‘segelintir’ sesuai dengan ‘keadaan’ saya saat ini juga.
Hemat.
Ya, mungkin anda akan menaikan alis sebelah sesaat. EGP kali ya. Well,
sebenarnya saya mengajak teman-teman sekalian untuk bertindak ‘meleset’ dari
‘biasanya’, bukan maksud menyindir atau menyingkirkan ego ‘belanja’. Mengambil keuntungan? Jelas ini tujuan saya agar tidak
menjadi ‘satu-satunya’ yang bertindak ‘nyetrik’
seperti itu. Anda pun tak rugi. Dan mungkin kelak anda akan berterima kasih dalam hati ketika ‘keberhasilan’ itu tercapai. Bukan
berarti saya menganjurkan anda makan nasi kucing di tengah terik mentari.atau
bisa ajadi anda beranggapan saya memberlakukan mengurangi ‘fast-food’ yang
bertengger di pusara mall. Hei! Itu
malah bikin saya masuk koran dengan ayat “merugikan’pihat
produsen. Setidak nya itu berakhir untuk
meminimalisir pengeluaran ‘lembaran berharga’ anda, bukan? Bukan sok menasehati, toh ini saya sindir untuk
diri saya sendiri, untung jika menyenggol
hati anda semua. Yuk, mari kita sama-sama
memulai sesuatu yang tak baru ini, mungkin kita bisa mengambil manfaatnya.
Amin.
0 komentar:
Post a Comment